Kamis, 02 September 2010

"I Love New York"





"I Love New York"
"I Love HongKong"
"I Love Singapore"
"Why should I Love Indonesia?"

Anda ingat kejadian dimana batik diperebutkan oleh dua negara yang egois? Saya sangat ingat sekali, dan pada hari jumatnya saya datang ke  kampus dengan batik Pekalongan (karena dipaksa oleh pihak kampus).

Batik itu cuma bukti kecil saja bahwa kita tidak lulus sebagai bangsa yang cinta budaya sendiri. Sekarang malah jadi masalah panjang dengan tetangga sebelah yang punya hubungan darah dengan kita.

Salah penduduknya kah?
atau salah batiknya karena susah sekali dibuat?
Kan bisa saja elemen dari batik digabungkan dengan budaya sekarang sehingga bertambah nilai jualnya.

"You don't have to burn books to destroy a culture. Just get people to stop reading them."- Mahatma Ghandi.
Remaja sekarang jarang yang dapat mengimplementasikan budaya dalam kehidupannya sehari-hari. Malah cenderung mengkonsumsi budaya lain.Kita tidak diajarkan membaca budaya seperti yang dikatakan Gandhi, tapi cuma diberikan buku saja. Sehingga Budaya tidak meresap dalam diri kita. Saya punya pengalaman tidak menarik dari seorang guru, dia merupakan contoh orang Indonesia yang tidak bisa menghargai dan hanya bisa mengkonsumsi.

Waktu itu saya sedang mengajar workshop tentang animasi untuk sebuah sekolah swasta di daerah Jakarta. Penuh sekali ABG dengan tatapan dinginnya dan segala pernak-pernik pergaulan. Saya mengajar perlahan dan akhirnya ilmu saya berhasil diterima (dengan sedikit paksaan) kepada remaja labil tersebut. Di akhir workshop saya memberikan sebuah pesan (sok) moral tentang mencintai animasi produk Indonesia. Tiba-tiba, bak halilintar di dalam rumah, seorang guru ABG labil itu menyeletuk dengan angkuhnya, "yah... itu mah tugas kalian aja yang bikinnya bagus, yah harus dibagusin donk, baru kita bisa suka...". Saya sangat berharap bapak ini tewas tersedak durian setelah pulang nanti, tapi sayangnya Tuhan tidak menyetujui doa saya.



 Mulai semenjak itu saya jadi benci semua serial animasi buatan negara lain yang disiarkan di TV di Indonesia. Sering sekali saya dan teman-teman berbincang-bincang tentang masalah ini, dan kami lebih menitikberatkan pada pemerintah kita yang kayak pepatah "pura-pura dalam perahu, kura-kura tidak tahu". Kita tidak dibantu sedikitpun dan juga mereka tidak menggunakan hal semacam animasi untuk meningkatkan rasa nasionalis bersama, malah mengkonsumsi habis-habisan produk tetangga. Sama halnya dengan batik, kenapa tidak dari dulu saja mereka membuat banyak event tentang batik yang meriah-meriah seperti sekarang ini, mungkin kita tidak semelarat dan tidak terlalu sok nasionalis seperti sekarang ini. Daripada membuang banyak biaya untuk perang, lebih baik betanding dengan industri kita dengan pemikiran yang strategis sekaligus memupuk rasa berbangsa.

Orang kaya berbondong-bondong ke luar negeri hanya untuk buang recehnya di tanah orang. kenapa ga belanja di negara sendiri yang kualitasnya sama saja dan bahkan jauh lebih baik.


Pernah beli barang dengan label "Made in Indonesia" ?


Saya pernah, dan dulu bodohnya saya, saya anggap itu produk bajakan.Akhirnya saya sadar ternyata memang pabrik buatan Indonesia itu baik dan sangat berkualitas.

Masyarakat lebih cenderung melihat produk lokal adalah hasil bajakan atau suatu buatan yang amatir. Kita lihat dari industri fashion, bisa dibilang negara kita penuh dengan insan-insan bisnis yang berpotensi menyaingi industri China yang serba murah dan "cepat beli baru". Mungkin aspek lainnya pun juga harus banyak mendapat perhatian dari pemerintah agar dapat bantuan tenaga sehingga bersama membangun negara ini.

Pemerintah belum mendukung dengan maksimal, dan sekarang malah bikin rumah lebih gede yang (gosipnya) ada fasilitas SPA.

Daripada menunggu bantuan dari para pejabat, alangkah baiknya kita bersama mendukung semua produk dari negeri sendiri.

Seperti lagu yang dulu dilantunkan oleh penyanyi cilik Cindy Cenora,

Mari kita cinta rupiah
Ahahaha...

4 komentar:

  1. stuju, cinta rupiah! haha
    emang ni degradasi nasioanlisme budaya indonesia tercipta gara2 pengadopsian budaya luar yang berlebihan.
    kasus yang guru itu emg keterlaluan bgt, ibaratnya dia ga maw mempromosikan produksi dalam sendiri kalau hasil nya tidak bagus,, wtf,, bangsa sendiri coi..
    mudah2 han murid2 pada pinter dan ga ikut2 an tuh guru dah...

    BalasHapus
  2. ahahaha...
    iya di,
    si bapak-bapak bekicot itu....
    thanks di...
    :D

    BalasHapus
  3. ahahaha..
    like that picture (bocah gundul dibacok)
    setuju Bin.. herannya, setiap aku pakai batik di hari Jumat (hari pakaian bebas di kantor), malah dikatain sama temen sendiri, "mau kondangan elo?"
    apa buat mereka, batik hanya dipake buat kondangan ya?
    mari kita pakai batik.. ahahaha..

    BalasHapus
  4. betul betul mas...
    orang bule lebih ngehargain batik daripada orang lokal..
    mari kita budaya kan batik....
    ahahaha
    :D

    BalasHapus